Minggu, 16 Februari 2014

LONTARA



Sejatinya Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya, baik sumber daya alam maupun kebudayaan. Negeri yang terbentang di garis khatulistiwa mulai dari Sabang sampai Merauke ini sejak zaman dahulu hingga sekarang telah tersohor keseluruh penjuru dunia akan potensi dan kekayaan yang dimilikinya bahkan banyak bangsa lain yang berebut untuk memilikinya.

Sebagai negara yang memiliki luas -+5.180.053 KM2 ditambah dengan wilayahnya yang menempatkannya sebagai negara maritim, maka tidak heran jika Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang majemuk. Keberagaman suku-bangsa menjadikan Bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaan, bahkan menurut fakta maupun sejarah bahwa telah ada beberapa suku-bangsa yang telah mengenal baca tulis atau aksara diantaranya Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, Bali, Mangkasara (Makassar), dan masih banyak lagi. Namun terjadinya kolonialisme menjadikan aksara-aksara tersebut seolah tak pernah ada.

Penemuan suatu aksara merupakan sebuah prestasi pencapaian kebudayaan tertinggi dalam sejarah peradaban ummat manusia dan untuk mengingatkan kembali sekaligus memperluas cakrawala pengetahuan kita, maka pada kesempatan kali ini kita akan membahas salah satu aksara kuno Nusantara yang tidak lain adalah "Lontara".

Lontara merupakan aksara asli Suku Mangkasara (Makassar) yang diperkirakan lahir pada tahun 1538 pada masa pemerintahan Raja Gowa IX bernama I Manuntungi Daeng Matanre yang bergelar Karaeng Tumapa'risi' Kallongna.

Menyadari bahwa perlu adanya suatu media komunikasi secara tertulis, maka Raja Gowa IX memerintahkan seoarang petinggi kerajaan untuk menciptakan suatu huruf agar dapat digunakan untuk merekam peristiwa-peristiwa Kerajaan kedalam bentuk tulisan. Mencuatlah nama Daeng Pamatte' seorang "Sabannara' " (Syahbandar) Kerajaan yang terkenal akan kecerdasannya, selain itu beliau juga merangkap sebagai "Tumailalang" (Menteri Urusan Istana Dalam Dan Luar Negeri). Dengan kesungguhan hati, akhirnya beliaupun mampu menjawab tantangan dari Baginda Raja Gowa IX dengan menciptakan maha karya berupa aksara Makassar yang kemudian dikenal dengan nama Lontara' Toa (Lama) atau Lontara' Jangang-Jangang (Burung) karena bentuknya seperti burung dari berbagai gaya serta terdiri dari 18 huruf. Bentuk huruf "Ka" seperti burung yang sedang terbang, huruf "Ga" seperti burung yang hendak turun ke tanah, serta huruf "Nga" berbentuk burung dari ekor badan dan leher.


Huruf ini kemudian digunakan sebagai aksara resmi Kerajaan dan diberi nama Lontara' Bilang Gowa-Tallo. Seiring berjalannya waktu, Lontara' terus mengalami transformasi. Masuknya Islam ke Makassar turut mempengaruhi susunan formasi maupun bentuk Lontara' menjadi 19 huruf dengan ditambahkannya huruf "Ha", Lontara' ini disebut "Lontara' Bilang-Bilang" yang diperkirakan muncul pada abad ke-16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV Sultan Alauddin (1593-1639).


Tradisi menggunakan huruf lontara mengalami perkembangan paling pesat pada abad ke-17. Dengan pengaruh contoh-contoh Sastra Melayu maupun Portugis, orang Makassar mulai menuliskan tarikh yang setiap fakta  memerinci pesatnya perkembangan Makassar. Tradisi yang sangat kokoh bagi pencatatan masa lampau ini didorong oleh Karaeng Pattingalloang (1600-1654), yang memerintahkan seorang Ambon pelarian  agar menulis sejarah Maluku dalam Bahasa Melayu. Sebagai "Mangkubumi" Kerajaan Makassar, Karaeng Pattingalloang membuat pembaruan-pembaruan istimewa dalam urusan pemetaan, letak istana, penerjemahan naskah-naskah kemiliteran dari Bangsa Portugis, Turki, dan Melayu ke dalam Bahasa Makassar. Di samping itu, kebiasaan menuliskan kelahiran, perkawinan, dan perceraian dalam keluarga raja, kedatangan kapal dan utusan, pembangunan benteng dan istana serta berjangkitnya wabah dengan menggunakan sistem penanggalan ganda Masehi dan Hijriah merupakan kebiasaan Karaeng Pattingalloang.

Pada masa itu, penulisan dan penyalinan buku-buku Agama Islam dari Bahasa Melayu ke Bahasa Makassar diatas lontar giat dilaksanakan. Berbagai Lontara' yang asalnya dari Bahasa Melayu diduga berasal dari abad ke-17 dan 18, masa permulaan perkembangan Islam di Sulawesi Selatan. Lontara' yang dimaksud antara lain: 
  1. Lontara' perkawinan antara Sayidina Ali dengan Fatima, putri Rasululullah
  2. Lontara' percintaan Nabi Yusuf dan Laila Majnun
  3. Sura’ bukkuru yang dalam bahasa Bugis dikenal dengan lontara pau-paunna Sultanul Injilai.
Lontara' tetap memiliki identitas tersendiri yang berasal filosofi dan budaya Makassar. Keterangan ini didukung oleh pendapat yang bersumber dari Lontara Patturioloanga ri Tugowaya, yang berbunyi sebagai berikut :“...iyapa anne karaeng uru apparek rapang bicara, timu-timu ri bunduka. Sabannara’na minne karaenga nikana Daeng Pamatte. la sabannara’, la Tumailalang, iatommi Daeng Pamatte ampareki lontara’ Mangkasara” (.. pada zaman raja inilah mula-mula dibuat peraturan, hukum dalam perang. Syahbandar raja inilah yang disebut Daeng Pamatte. Ia syahbandar, ia pengurus kerajaan, ia juga Daeng Pamatte yang membuat  Lontara' bahasa Makassar).

Sebagai generasi penerus, sudah selayaknyalah kita untuk senantiasa menjunjung tinggi dan menjaga budaya Bangsa kita agar tidak hilang ditelan arus globalisasi. Kita harus bangga akan mahakarya para leluhur Bangsa Indonesia. Ini sudah cukup membuktikan bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang besar dan telah maju sejak zaman Nusantara.



1 komentar: